Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata:
“Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan).
All is relative merupakan slogan yang sedang naik daun di negeri ini seakan-akan baik buruk, salah benar, porno dan tidak porno, sopan tidak sopan, korupsi dan kejujuran bahkan dosa dan tidak dosa adalah relatif. Artinya tergantung siapa yang menilainya. Bukan hanya itu ’semua adalah relatif’ kemudian menjadi sebuah kerangka berpikir. "Berpikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar", sebab kebenaran itu relatif. Jangan terlalu lantang bicara kebenaran, dan jangan menegur kesalahan, "karena kebenaran itu relatif." Benar bagi anda belum tentu bagi kami," semua adalah relatif.
Kalau Anda mengimani sesuatu jangan terlalu yakin keimanan Anda benar, iman orang lain mungkin juga benar. Intinya semua diarahkan kepada ketidakpastian tentang kebenaran. Kalimat bijak Abraham lincoln, No one has the right to choose to do what is wrong, tentu tidak sesuai dengan kerangka berpikir ini. Jadi merasa benar menjadi seperti makruh dan merasa benar sendiri menjadi haram. Sekali lagi kebenaran milik siapa?
All is relative mulanya berkaitan dengan masalah ontologi kemudian dibawa kepada hal yang epistemalogi maka yang terjadi meresap ke semua lini termasuk agama. "Kalau Anda mengklaim sesuatu itu benar, orang lain juga berhak mengklaim itu salah." Kalau Anda merasa agama Anda benar, orang lain juga berhak mengatakan agama Anda salah.
All is relative kemudian diarahkan kepada kesimpulan bahwa tidak ada kebenaran mutlak, There exists no Absolute Truth. Kebenaran, moralitas, nilai dan lain-lain adalah relatif. Sepintas logika demikian mungkin bisa saja diterima namun semakin tidak logis. Kalau Anda mengatakan "tidak ada kebenaran mutlak, maka kata-kata Anda itu sendiri sudah mutlak, padahal Anda mengatakan semua adalah relatif. Kalau Anda mengatakan semua adalh relatif atau semua kebenaran adalah relatif maka pernyataan Anda juga adalah relatif alias tidak absolut. Kalau semua adalah relatif maka yang mengatakan di sana ada kebenaran mutlak sama halnya mengatakan di sana tidak ada kebenaran mutlak. Jika demikian kebenaran akan semakin self contradictory yang bias."
Pada kenyataannya menghapus kepercayaan pada kebenaran mutlak ternyata bukan hal mudah seperti dilaporkan William Lobdell di the Los Angles Tims dari hasil penelitian Barna Research Group mengatakan bahwa di Amerika sendiri 70% penganut Kristen dan 27% penganut ateis dan 38% percaya kepada kebenaran mutlak. Karena itu doktrinnya pun berubah: "Anda boleh percaya kepada yang absolut asal tidak memaksakan kepercayaan Anda pada orang lain. Artinya tidak ada siapapun yang menyalahkan siapa dan melarang siapa. Tetapi pernyataan ini sendiri telah melarang orang lain. Di Barat pernyataan seperti ini dianggap hipokrit dan bagi kita pernyataan ini menghapuskan amar maruf nahi munkar padahal Allah berfirman al-Haq min rabbika (kebenaran dari Tuhanmu). ’Dari Tuhanmu’ berarti berasal dari sana dan sudah berada di sini, di masa kini dalam ruang dan waktu kehidupan manusia. Jadi yang menyejarah sebenarnya bisa mutlak."
Dalam buku Thinking Critically About Philosophical Problem, menyatakan percaya pada Tuhan yang mutlak, berarti percaya bahwa nilai-nilai moral manusia itu dari Tuhan. Demikian sebaliknya jika kita tidak mempercayai pada Tuhan yang mutlak, berarti tidak mempercayai bahwa nilai moral manusia itu dari Tuhan. Akhirnya semua adalah relatif bisa berarti tidak ada yang tahu Tuhan yang mutlak dan kebenaran firmannya yang mutlak.
Sekali lagi, tulisan ini hanya dibuat dengan asumsi bahwa yang membacanya pastilah manusia, yang sebagai makhluk yang selalu berpikir, bertanya dan berusaha untuk mencari kebenaran. Termasuk mencari makna benar dari kebenaran itu sendiri. Apakah kita sudah menyadari hakikat diri kita sendiri, kerendah-hatian ataupun kesombongan kita? Maka teruslah berpikir, tanpa harus menghilangkan keyakinan-keyakinan yang sudah ada.
Hanya berpikir jernih terhadap sesuatu yang telah diyakini bukanlah sesuatu yang tabu apalagi dosa. Semoga kita masih menjadi manusia yang tak segan untuk berpikir dan bertanya. Manusia hanya berhak berteori dan berusaha mencari, tapi sesungguhnya apakah, dimanakah dan milik siapakah kebenaran tersebut?
Ayipudin
Pengurus PP Hima Persis dan peneliti di Institute for education, culture & Information (IECI) Jakarta
Sumber: http://suar.okezone.com/read/2011/12/28/58/548134/kebenaran-milik-siapa
0 komentar:
Posting Komentar