Dalam peradaban Islam, ada sejumlah ilmuwan yang memiliki kepakaran dalam bidang terapi musik. Di antara mereka adalah Al-Kindi dan Al-Farabi. Seperti apa kiprah mereka, berikut ulasan singkatnya.
Al-Kindi atau al-Kindus adalah ilmuwan jenius yang hidup di era kejayaan Islam Baghdad. Kejayaan Islam saat itu dikawal oleh Dinasti Abbasiyah. Sebanyak lima periode khalifah dilaluinya, yakni al-Amin (809-813), al-Ma’mun (813-833), al-Mu’tasim, al-Wasiq (842-847), dan Mutawakil (847-861).
Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan. Khalifah juga memercayainya untuk berkiprah di Baitulhikmah yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani.
Al-Kindi
Ketika Khalifah al-Ma’mun tutup usia dan digantikan putranya, al-Mu’tasim, posisi al-Kindi kian diperhitungkan dan mendapat peran yang besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi putranya. Al-Kindi mampu menghidupkan paham Muktazilah. Berkat peran Al-Kindi pula, paham yang mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan.
Selama menggeluti ilmu pengetahuan di Baitulhikmah, al-Kindi telah melahirkan 260 karya. Darikarya-karya itu, tampak jelas bahwa al-Kindi adalah seorang yang berilmu pengetahuan luas dan dalam.
Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, kedokteran, astrologi, dialektika, psikologi, politik, dan meteorologi. Dari buku-buku karyanya, terbanyak adalah tentang geometri (32 judul). Filsafat dan kedokteran masing-masing 22 judul. Ilmu logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul.
Al-Farabi
Sosok dan pemikiran al-Farabi hingga kini tetap menjadi perhatian dunia. Buah pikirnya, salah satunya tentang ilmu logika, berpengaruh besar terhadap dunia Barat. Pemikirannya juga memengaruhi Ibnu Sina dan Ibnu Rush.
Al-Farabi atau masyarakat Barat menyebutnya Alpharabius, memiliki nama lengkap Abu Nasr Muhammad ibn al-Farakh al-Farabi. Tak seperti Ibnu Khaldun yang sempat menulis otobiografi, Farabi tidak menulis otobiografi.
Tak ada pula sahabatnya yang mengabadikan latar belakang hidup sang legenda itu, sebagaimana al-Juzjani mencatat jejak perjalanan hidup gurunya, Ibnu Sina.Tak heran, muncul beragam versi mengenai asal-muasal Farabi. Ahli sejarah Arab pada abad pertengahan, Ibnu Abi Osaybe’a, menyebutkan, ayah Farabi berasal dari Persia. Mohammad Ibnu Mahmud Al-Sahruzi juga menyatakan, Farabi berasal dari sebuah keluarga Persia.
Filsuf sekaligus pemikir besar Islam, Ibnu Sina (980-1037) menulis, ia mendapatkan banyak hal dari karya Farabi. Dia bahkan mengaku belajar musik dari Farabi dan mempraktikkannya. ‘’Salah satu perawatan terbaik dan paling efektif adalah memperkuat kekuatan mental dan spiritual pasien, dan memberinya lebih banyak keberanian untuk melawan penyakit,” ujar Sina.
Menurut dia, keberadaan suara sangat penting untuk eksistensi manusia. Suara yang tertata dan teratur memiliki efek mendalam pada jiwa seseorang.
0 komentar:
Posting Komentar