Ada satu kisah, seorang kakek tua sebatang kara menemukan lubang ajaib. Lubang itu bisa mengeluarkan kepingan emas yang tak terbatas jumlahnya. Lubang itu bisa membuat si kakek tua menjadi kaya raya seberapa pun yang diinginkannya, sebab lubang ajaib itu baru akan berhenti mengeluarkan kepingan emas bila si kakek mengucapkan 3 kali kata “cukup”. Seketika si kakek terpengarah melihat kepingan emas yang tak terhingga jumlahnya. Diambilnya beberapa ember untuk menampung kepingan emas itu. Setelah semuanya penuh, lalu diambilnya beberapa karung bekas yang kemudian diisi penuh dengan kepingan emas. Timbunan kepingan emas terus menumpuk, sementara si kakek mencari beberapa tempayan untuk diisi. Bahkan mengisi penuh seluruh rumahnya. Masih kurang? Iya. Dia kemudian berusaha menggali sebuah lubang besar untuk menimbun emasnya. Merasa belum cukup, dia membiarkan lubang ajaib itu terus mengeluarkan kepingan emas hingga akhirnya si kakek mati kelelahan dan tertimbun bersama ketamakannya karena dia tidak pernah bisa berkata cukup walaupun hanya sekali saja.
Anggaplah kisah itu hanya sebuah cerita yang tidak pernah dibuktikan kebenarannya. Tapi pernahkah kita menyadari bahwa kita sering bertindak seperti si kakek tua tadi? Tidak pernah merasa cukup, atau tidak pernah mengucapkan kata cukup. Kata yang paling sulit untuk diucapkan oleh kita barangkali adalah kata “cukup”.
Ketika saling tukar cerita dengan teman sesama karyawan, hampir semua mengeluh bahwa gajinya tidak cukup untuk menghidupi kebutuhan keluarganya. Hampir semua teman-teman merasa gajinya belum sepadan dengan kerja keras yang dilakukan setiap harinya. Bahkan mengakui bahwa istilah P8 (Pergi Pagi Pulang Petang Penghasilan Pas Pas-an dan Pasrah) merupakan satu kenyataan yang menyakitkan.
Di sisi lain, pengusaha hampir selalu merasa pendapatan perusahaannya masih kurang memuaskan (di bawah target). Banyak istri mengeluh suaminya kurang perhatian. Sedang suami-suami berpendapat istrinya kurang pengertian. Anak-anak menganggap orang tuanya kurang kasih sayang. Seorang atasan menganggap bawahannya kurang cekatan, bawahan merasa atasannya kurang tanggap dengan keinginannya. Semua merasa kurang dan kurang. Kapankah kita bisa berkata “cukup” dengan ikhlas?
Cukup hanya bisa diucapkan dan dirasakan oleh orang yang bisa mensyukuri. Cukup bukanlah soal jumlah namun cukup adalah persoalan hati. Dengan berkata cukup, kita merasa lebih nyaman dan damai. Tak perlu ragu berkata cukup. Mengucapkan kata cukup bukan berarti kita berhenti berusaha dan berkarya. Mengucapkan kata cukup membuat kita berbesar hati dengan apa yang telah kita terima. Cukup berarti kepuasan hati bukan berarti stagnasi atau berdiam diri.
Untuk mencapai kedamaian hati di dalam kehidupan ini, janganlah biarkan ketamakan memenjara pikiran kita sehingga membuat kita sulit berkata cukup. Belajarlah untuk mencukupkan diri dengan apa yang kita miliki hari ini, maka kita akan menjadi manusia yang berbahagia. Sekali lagi, belajarlah berkata cukup, dan seringlah mengucapkannya.
0 komentar:
Posting Komentar