Mesin membuat jarak di muka bumi ini menjadi tidak lagi berarti. Berkat mesin kita dapat bertemu dengan orang di belahan manapun di planet ini dengan mudah, baik hanya secara virtual maupun fisik.
Sekarang saat anda membaca tulisan saya ini dan melihat ke sekeliling anda, saya bisa pastikan tidak satu pun yang di sekeliling anda itu yang benar-benar lepas dari ketergantungan terhadap mesin, baik langsung maupun tidak. Bangunan tempat kita berteduh, jalan yang kita leati, pohon yang ditanam di halaman bahkan Cicak yang berjalan di dinding pun berjalan di dinding dengan bahan-bahan yang dibuat dengan mesin.Sekarang, nasi yang kita makan juga diproduksi dengan mesin, mulai dari pengolahan lahannya, pupuknya, proses pemisahan kulit dan bijinya semua dilakukan dengan mesin. Komputer yang kita pakai, AC yang mendinginkan ruangan kita, baju yang kita pakai, bahkan dua anak lelaki kembar saya yang masih dalam kandungan istri saya pun saya ketahui jenis kelaminnya menggunakan mesin.
Sementara itu, mesin sendiri hanyalah ALAT. Mesin hanya bisa berjalan kalau ada ENERGI, tanpa energi tidak ada mesin, tidak ada mesin tidak ada peradaban modern. Karena itulah dalam peradaban modern ini ENERGI menjadi isu yang paling besar yang penguasaannya diperebutkan dengan ketat oleh semua negara, perebutan kuasa atas sumber energi ini tidak jarang sampai menimbulkan perang.
Selama bertahun-tahun belakangan ini, bahan bakar fosil yaris menjadi satu-satunya sumber energi di planet ini. Sehingga tidak heran kalau tahun-tahun belakangan ini pula kita pun menyaksikan bagaimana wajah dunia babak belur akibat perebutan kuasa atas sumber utama penghasil energi ini.
Belakangan setelah penggunaan energi fosil dengan skala masif terutama dalam seabad terakhir ini, kita pun dihadapkan dengan berbagai masalah. Ketika dibakar untuk menghasilkan energi, bahan bakar fosil ini melepaskan karbon ke udara. Pelepasan karbon ini menyebabkan polusi dan merusak ozon, membuat bumi yang kita diami semakin panas. Meningkatnya produksi karbon hasil pembakaran bahan bakar fosil ini belakangan disinyalir telah menjebabkan fenomena pemanasan global (Global Warming). Meskipun fenomena pemanasan global masih didebat kesahihannya oleh beberapa ilmuwan, tapi tidak bisa tidak tetap saja fenomena ini menimbulkan kecemasan massif bagi warga dunia.
Masalah dengan bahan bakar fosil ini tidak hanya sampai di situ. Masifnya konsumsi bahan bakar ini dalam seabad terakhir, membuat fakta menipisnya cadangan bahan bakar ini tidak bisa kita hindari.
Sementara itu, ketika cadangan bahan bakar fosil semakin menipis, kebutuhan atas energi bukannya turun malah semakin hari semakin tinggi. Akibatnya sesuai prinsip ekonomi Suplai dan penawaran, maka tanpa bisa dihindari harga bahan bakar ini pun semakin hari semakin melambung tinggi.
Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan, karena kalau sampai terjadi dan manusia belum menemukan alternatif lain sebagai sumber energi, peradaban medern pun akan segera berakhir bersamaan dengan habisnya cadangan bahan bakar fosil.
Karena alasan itulah, belakangan kita lihat mulai banyak usaha umat manusia untuk mulai memanfaatkan sumber energi terbarukan dengan lebih maksimal. Sumber energi terbarukan itu bisa berupa tenaga matahari, angin, air, panas bumi, bio massa bahkan gelombang laut.
Sejauh ini, meskipun beberapa sumber energi itu terbukti efektif dalam mengurangi konsumsi bahan bakar fosil, tapi hampir semua sumber energi terbarukan itu tidak bisa menyaingi bahan bakar fosil dari segi kepraktisan. Bahan bakar fosil memiliki sifat yang mobil, gampang disimpan dan dipindah-pindahkan. Tidak statis seperti banyakan sumber energi terbarukan itu.
Sebenarnya selain berbagai sumber energi terbarukan seperti yang saya sebut di atas, masih ada satu sumber energi lain yang sangat potensial menggantikan bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama. Sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil ini bernama Hidrogen. Dibandingkan semua energi terbarukan seperti yang saya sebut di atas Hidrogen memiliki beberapa keunggulan antara lain ; bahan bakar hidrogen bersifat mobil seperti bahan bakar fosil yang kita kenal selama ini. Bedanya, tidak seperti bahan bakar fosil, pembakaran hidrogen tidak menyebabkan polusi karbon.
Ketika terbakar, hidrogen melepaskan energi berupa panas dan menghasilkan air sebagai bahan buangan (2H2 + O2 —> 2H2O). Sama sekali tidak mengeluarkan karbon. Jadi penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar sangat membantu mengurangi polusi Karbon Mioksida dan juga Karbon Monoksida sehingga sekaligus mengurangi efek rumah kaca (meskipun pembakaran hidrogen juga menghasilkan polutan berupa Nitrogen Oksida dalam jumlah kecil).
Dibanding bahan bakar fosil yang umum kita gunakan selama ini, Bensin dan solar, pemakaian hidrogen sebagai bahan bakar jauh lebih efektif dalam pembakaran.
Sebagai perbandingan 1 pound bensin yang dibakar pada suhu 25 derajat Celcius dan tekanan 1 atmosfer akan menghasilkan panas antara 19.000 Btu (44,5 kJ/g) s/d 20.360 Btu (47,5 kJ/g), sedangkan 1 pound Solar bisa menghasilkan panas antara 18.250/lb (42,5 kJ/g) s/d 19,240 Btu (44,8 kJ/g).
Hidrogen sendiri dalam kondisi yang sama (25 derajat Celcius dan tekanan 1 atmosfer) dengan berat yang sama mampu menghasilan panas 51.500 Btu/lb (119,93 kJ/g) sampai 61.000 Btu (141,86 kJ/g) yang berarti hampir 3 kali lipat dari panas yang bisa dihasilkan oleh pembakaran bensin dan solar.
Keunggulan lain dari Hidrogen adalah jumlahnya di alam ini sangat melimpah, 93 % dari seluruh atom yang ada di jagat raya ini adalah Hidrogen, unsur yang paling sederhana dari semua unsur yang ada di alam ini . Tiga perempat dari massa jagat raya ini adalah Hidrogen. Di bumi sendiri bentuk hidrogen yang paling umum kita kenal adalah air (H2o).
Hanya, meskipun memiliki banyak keunggulan dibanding bahan bakar lain, hidrogen juga memiliki kelemahan. Kelemahan Hidrogen (H2) ini sebagai bahan bakar adalah sifatnya sebagai sumber energi yang tidak bersifat langsung (primer) sebagaimana halnya gas alam, minyak atau batubara. Hidrogen adalah energi turunan (Sekunder) sebagaimana halnya listrik yang tidak bisa didapat langsung dari alam, melainkan harus diproduksi dengan menggunakan sumber energi lain seperti Gas alam, minyak, batu bara, nuklir, energi matahari dan berbagai sumber energi lainnya.
Tapi meskipun hidrogen tidak bisa dilepaskan dari kelemahannya itu, tetap saja dalam skala kecil sudah banyak negara di dunia memanfaatkan hidrogen sebagai bahan bakar. Negara itu sebut saja Amerika serikat misalnya. Sebagai negara yang pengkonsumsi energi terbesar di dunia, Amerika Serikat adalah salah satu negara yang paling aktif mengembangkan riset untuk mengembangkan Hidrogen sebagai bahan bakar. Pada tahun 1992 pemerintah Amerika mendirikan The Hydrogen Technical Advisory Panel (HTAP), untuk memberikan masukan kepada Menteri Energi tentang potensi hidrogen.
Kebanyakan dari hidrogen yang diproduksi sampai hari ini (di Amerika maupun di negara lain) adalah hidrogen yang didapat dari gas alam (CH4) melalui proses yang disebut "steam reforming". Tapi yang lebih potensial untuk dilakukan di masa depan adalah memproduksi hidrogen dari air melalui proses elektrolisis atau langsung menggunakan reaksi fotokimia.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, hidrogen itu adalah sumber energi sekunder yang diproduksi dengan menggunakan sumber energi lain. Pada kenyataanya hidrogen dan listrik memang bagaikan dua sisi yang berbeda dari satu mata uang yang sama. Hidrogen bisa diproduksi dengan menggunakan tenaga listrik melalui proses elektrolisis, sebaliknya hidrogen bisa digunakan untuk memproduksi listrik bebas polusi melalui proses elektrolisis pula.
Karena bersifat sekunder itulah, untuk tahap awal penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar, kita harus mengkombinasikan penggunaannya dengan bahan bakar primer (hibrida). Jadi fungsi hidrogen lebih sebagai bahan bakar pendamping yang berfungsi membantu mesin mengurangi konsumsi bahan bakar utama.
Memadukan teknologi elektrolisis yang menghasilkan hidrogen dari air dengan teknologi pembakaran menggunakan bahan bakar bensin atau solar kepada kendaraan ataupun mesin industri terbukti cukup efektif mengurangi konsumsi bahan bakar fosil antara 15-50 %. Jadi kalau saja teknologi seperti ini bisa diterapkan secara massal, konsumsi bahan bakar fosil tentu bisa diturunkan, disamping menghemat penggunaan bahan bakar fosil, penggunaan teknologi ini juga secara efektif mengurangi produksi karbon yang hari-hari belakangan ini menjadi pokok perdebatan para pemimpin berbagai negara yang sekarang sedang melakukan konferensi di Kopenhagen.
Untuk di Indonesia sendiri, kalau saja teknologi ini bisa digunakan secara masif, hal itu tentu akan banyak mengurangi tingkat kepusingan pemerintah yang setiap tahunnya harus mengeluarkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit untuk mensubsidi BBM.
Karena daya tarik teknologi pemanfaatan hidrogen yang diproduksi dari air melalui proses elektrolisis inilah sekarang banyak negara yang sudah mulai mengembangkan teknologi ini. Negara-negara itu di antaranya Malaysia, Cina, Jepang dan tentu saja Amerika Serikat.
Kemudian pertanyaannya Indonesia kapan?. Kalau untuk mengembangkan teknologi ini kita harus menunggu pemerintah dan para sarjana yang memiliki sederet gelar di berbagai universitas terkenal di negeri ini yang mengambil inisiatif, maka jawabannya adalah WALLAHU ALAM. Ini disebabkan karena seperti yang sudah-sudah, orang-orang yang duduk di pemerintahan Indonesia dan juga para sarjana dan akademis di negara ini jarang sekali ada yang mampu berpikir di luar bingkai. Para sarjana dan akademis di negara ini lebih banyak terdiri dari orang-orang yang terlalu bangga dan silau dengan gelar yang mereka miliki.
Kalaupun ada ilmuwan di Indonesia yang cukup brilyan maka biasanya dia akan dihadapkan pada kurangnya dukungan dana untuk mewujudkan ide brilyan-nya. Di Indonesia ini, ide dan pemikiran hebat tidak pernah dihargai secara wajar. Beda dengan katakanlah Taiwan yang jika ada orang yang punya ide yang cukup cemerlang, maka pemerintah akan memberi dukungan dana dan fasilitas untuk melakukan penelitian, yang semuanya akan dibayar jika penelitian itu sudah menghasilkan. Maka tidak heranlah jika akhirnya negara asinglah yang mengambil manfaat dari banyak bakat brilyan yang lahir di negeri ini.
Kembali ke hidrogen, sebagaimana juga untuk mengembangkan Pariwisata, untuk mengembangkan teknologi hibrida hidrogen dan bahan bakar fosil ini pun, di Indonesia kita hanya bisa berharap kepada SWASTA. Karena di Indonesia ini pemerintah sebagaimana biasanya hanya bisa menjadi pahlawan kesiangan yang baru muncul belakangan, setelah masalah terselesaikan.(sumber)
0 komentar:
Posting Komentar