Sekelompok mahasiswa Muslim mendengarkan pembicara utama Doaa Dorgham ketika ia membahas tentang wanita di Muslim dan perjuangan mereka dan kemenangan yang mengelilingi jilbab di Balai Riddick. Acara tersebut juga mengikutsertakan wanita non-Muslim untuk ambil bagian dalam eksperimen sosial dengan turut mengenakan jilbab dalam sehari. (Foto: IViews)
CAROLINA UTARA – Mengenakan sebuah jilbab berwarna-warni yang melingkari lehernya, Kate Watkins, seorang mahasiswa baru di studi internasional Universitas Negeri Carolina Utara, berjalan masuk ke dalam kelas yoganya dan dengan cepat menarik perhatian para teman-temannya. Sebagai seorang partisipan acara Behind the Veil (Di Balik Jilbab), sebuah acara pendidikan yang disponsori oleh Asosiasi Mahasiswa Muslim, Watkins dan para mahasiswa non-Muslim lainnya mengenakan jilbab untuk sehari saja.
"Saya pikir merupakan hal yang penting untuk memahami orang-orang yang berbeda dari saya dengan berjalan menggunakan sepatu mereka sebelum saya membuat penilaian apapun," Watkins mengatakan.
Pertukaran kebudayaan dengan mengenakan jilbab membentangkan ke masa lalu tentang bidang pakaian dan penutupan aspek dari jilbab sebagai sebuah pilihan gaya hidup. Sebagai sebuah peraturan bagi para wanita di dalam Al-Qur'an, jilbab membawa sebuah kepentingan spiritual bagi banyak wanita muda.
Sebuah awan mendung kontroversi telah mengelilingi jenis pakaian Muslim tersebut dan penyelenggara acara tersebut mengatakan bahwa mereka memilih untuk melakukan pertukaran tersebut untuk menunjukkan arti sebenarnya dari jilbab dan untuk memperjelas "misteri" yang sudah umum ada.
"Jilbab bukanlah sebuah simbol penindasan,"Fatima Fareed, seorang mahasiswa baru di jurusan pendidikan sekolah dasar, mengatakan. "Sebagai seorang wanita, saya merasa terbebaskan ketika mengenakan jilbab, dan tidak ada kontradiksi. Ini adalah sebuah tanda kesopanan dan rasa hormat dan saya merasa diberdayakan untuk melakukan demikian."
Acara tersebut termasuk sebauh diskusi panel dengan tiga wanita Muslim – dua diantaranya memilih mengenakan jilbab dan salah satu wanita yang memilih untuk tidak mengenakan jilbab, setidaknya belum mengenakan jilbab.
"Saya tidak pernah malu menjadi seorang Muslim," Sameen Mujtaba, seorang junior di jurusan kimia pewarna polimer mengatakan ketika menceritakan narasinya tentang kapan ia mulai mengenakan jilbab. "Ketika saya masih lebih muda dulu, saya dulunya mengenakan celana Capri namun suatu hari saya bertemu seorang gadis yang berpindah agama masuk Islam mengenakan jilbab. Hal tersebut membuat kesan yang mendalam pada saya."
Ada sebuah usia yang direkomendasikan di dalam Islam, sekitar usia pubertas, itulah waktu yang pas mengenakan jilbab, yang hanya saja, jilbab tidak dibingungkan dengan burqa, yang adalah sebuah penutup seluruh tubuh. Bagaimanapun juga, banyak para wanita muda terdorong untuk meluangkan waktu mereka ketika mempertimbangkan kapan untuk mengenakan jilbab.
"Tentu saja, pilihan tersebut terserah Anda, Anda tidak akan memahami pentingnya dan pemaksaan adalah kontraproduktif," Doaa Dorgham, seorang junior di jurusan psikologi, mengatakan. Sebagai penyelenggara acara dan rekan-rekannya yang mengenakan jilbab, Dorgham mengatakan bahwa para wanita Muslim seharusnya hanya mengenakan jilbab ketika mereka merasa sangat nyaman melakukan demikian. "Tidaklah berharga jika hanya melalui gerakan saja. Islam tidak hanya mempertimbangkan tindakan, namun juga niatan Anda."
Tema kesopanan muncul kembali melalui diskusi panel, dan para panelis menggambarkan perspektif kesopanan mereka tidak hanya menyangkut penampilan fisik, namun juga sikap sederhana.
"Ketika saya memikirkan tentang kesopanan," Mujtaba mengatakan, "Saya pikir bahwa seseorang yang tidak modis adalah seseorang yang juga berusaha terlalu keras untuk menarik perhatian orang-orang. Begitu banyak pikiran seperti itu yang saya cenderung lakukan kemungkinan lebih cocok untuk membuat orang terkesan, dan saya merasa bersalah akan hal tersebut. Namun mengenakan jilbab mengingatkan saya untuk menjadi tulus dan menjadi diri saya sendiri."
Dorgham mengatakan bahwa jilbab tidak menggambarkan dirinya, namun ia lebih menggambarkan dirinya dan gaya hidup jilbabnya.
"Saya membuatnya seperti jilbab adalah bagian dari diri saya sendiri," Dorgham mengatakan di antara memediasi panel tersebut. "Jika seseorang mengenakan jilbab tidak berarti bahwa mereka lebih baik dari mereka yang tidak mengenakan jilbab."
Iqra Chhotani, seorang senior dari jurusan ilmu biologi, adalah seorang keturunan Pakistan dan duduk dalam diskusi panel tersebut sebagai seorang yang tidak mengenakan jilbab. Walaupun ia menceritakan konflik pribadi dan perdebatan diri tentang peranannya sebagai seorang Muslim, ia mengatakan bahwa ia pada akhirnya akan mengenakan jilbab.
"Saya tidak merasa bahwa saya sudah siap," Chhotani mengatakan. "Datang ke kampus, dan di samping menjadi seorang senior, saya tidak mengetahui apapun siapa diri saya atau ingin menjadi seperti apa saya. Saya mengambil langkah untuk menjadi sebuah pribadi yang lebih baik dan seorang Muslim. Ketika saya merasa seperti saya dapat melihat diri saya sendiri di depan cermin dan mengatakan, 'Wow, saya dapat membawa nama menjadi seorang Muslim,' dan menjadi bangga karenanya lebih dari saya sekarang, itulah saat di mana saya dapat mengenakannya."
Percakapan tentang pentingnya jilbab berlanjut hanya hampir dua jam. Akhir dari pembahasan terbuka pada pertanyaan yang lebih luas tidak hanya menyangkut jilbab namun praktik-praktik Muslim dan kebudayannya juga. Para wanita non-Muslim yang memilih untuk ambil bagian dalam eksperimen sosial menceritakan pengalamannya dan Watkins mengatakan bahwa pandangannya tentang jilbab dan Islam berubah.
"Saya pikir bahwa banyak orang yang tidak dapat bergerak di satu sisi pendapat," Watkins mengatakan. "Ini adalah sebuah ekspresi yang sangat cantik tentang agama dan saya telah mempelajari pelajaran bahwa saya dapat menerapkannya pada kepercayaan Kristen saya." (ppt/iv) www.suaramedia.com
0 komentar:
Posting Komentar